DESA Piji hujan peluru. Desa di lereng Muria Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, yang semula tenang berubah mencekam. Penjajah Jepang yang menduduki Indonesia mengambil alih desa. Warga melawan. Mereka melancarkan perang gerilya.
Jauh di seberang samudera, tentara Amerika menjatuhkan bom atom Amerika di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, 6 Agustus 1945. Serangan itu membawa angin segar di Tanah Air. Rakyat bangkit. Mereka melucuti tentara Jepang.
Sejumlah tentara Jepang yang masih tersisa menjadi tawanan. Euforia kebangkitan pun dirasakan rakyat bersama para pejuang kemerdekaan di lereng Muria. Ketika para pejuang berhasil melucuti tentara penjajah, suasana desa pun kembali damai. Petani kembali menggarap sawah, anak-anak mulai tenang mengaji.
Indonesia kembali bergejolak saat tentara Sekutu yang dipimpin Jenderal TED Kelly mendarat di Indonesia, 9 Oktober 1945. Tentara NICA yang membonceng Sekutu berusaha merebut kembali senjata yang disita tentara Merah Putih.
Rakyat kembali mengangkat senjata. Di Piji, seorang kiai memimpin rakyat melawan tentara Belanda. Perjuangan rakyat tak sia-sia. Mereka berhasil mengusir tentara penjajah dari desa tanah kelahirannya.
Adegan heroik itu merupakan sekelumit kisah dalam film dokumenter perjuangan “A Ba Ta Macane”, garapan anak-anak Desa Piji. Di bawah arahan Sutradara A Ba Ta Macane M Ulul Azmi (Kak Citul), anak-anak dengan segala keluguannya berakting sebagai tentara merah putih, petani, hingga tentara Belanda.
Film dokumenter dengan durasi sekitar 30 menit itu diputar pada malam tirakatan 17 Agustus lalu di perempatan kampung Piji Wetan RT 4 RW 3 Desa Piji. Semua warga kampung khusyuk menyimak setiap adegan anak-anak. Warga spontan tertawa saat ada adegan lucu, atau ketika ada tokoh yang lupa dialognya.
Film yang dibalut dengan animasi untuk mendramatisasi peperangan itu mendapat samputan hangat dari warga. A Ba Ta Macane ini adalah film kedua. Saat perayaan HUT Kemerdekaan tahun lalu, anak-anak Piji juga membuat film dokumenter dengan tema yang sama. Semua pemainnya juga anak-anak.
Membuat film dokumenter, seolah telah menjadi tradisi tak terlewatkan bagi anak-anak Desa Piji. Azmi, pemuda Desa Piji yang juga pegiat teater di Kudus itu terlihat membebaskan anak asuhnya dalam berakting. Dalam film itu, sejumlah anak yang terlihat tersenyum malu saat seharusnya beradegan serius dibiarkan saja.
Pun dengan gambar-gambar yang “bocor” seperti munculnya sebuah kendaraan bebek keluaran terbaru dalam frame film tak diedit. Meski begitu, pembuatan film indie itu layak diparesiasi.
Film itu dibuat untuk mengenang jasa para pejuang, sekaligus hendak menggugah semangat cinta tanah air bagi anak-anak di desa kami. Karena itu, cerita yang diangkat tak jauh-jauh dari tema nasionalisme dan perjuangan. Setting lokasi yang semuanya di Desa Piji membuat anak-anak lebih dekat dengan semangat perjuangan para pahlawan.
Meski semua pemerannya anak-anak, campur tangan para orang tua tergambar dalam setiap adegan film. Para orang tua secara sukarela menyediakan rumah-rumah mereka untuk pengambilan gambar. Azmi mengatakan, semua warga terlibat dalam penggarapan film ini.
Semua warga teribat karena. Ini sejalan dengan semboyan HUT ke-74 Kemerdekaan yang diusung warga desa, yakni “Sing cilik ngrameni, sing enom nyengkuyungi, sing ibu-ibu njangani, sing bapak nyemanagti, sing sepuh dongani”.
Dalam Bahasa Indonesia, semboyan itu kurang lebih berarti yang kecil (anak-anak) meramaikan, yang muda (remaja) saling membantu, yang ibu-ibu masak menyiapkan makanan, yang bapak memberi semangat, yang tua ikut mendoakan – Red).
Usai diputar perdana dengan menggelar nobar (nonton bareng – Red) pada malam tirakatan, film A Ba Ta Macane itu diunggah Azmi di kanal Youtube “Ruji Pilm” yang dikelolanya. Film-film dokumenter garapan anak-anak Piji Wetan yang sudah dirilis juga diunggah di akun itu.
Wah unik jg ya.. Sy br denger tu ada desa yg bgt antusias mwmbuat film dokumemtar lh dlm menyambut 17 Agustusan... Sekalian menghibur jg swkaligus mengenang jasa pendahulu kita yaa... Kereen
BalasHapus