SYAWALAN tahun ini kembali berkesempatan mendokumentasikan Tradisi Bulusan. Tradisi di Dusun Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus ini menarik karena mengangkat isu lingkungan dan kerukunan.
Tradisi ini dirayakan pada tanggal 8 Syawal, atau H+7 setiap tahun. Tahun ini, puncaknya pada hari Rabu (12/6/2019). Meski begitu, keramaian di Dusun Sumber sudah terasa sejak hari pertama Lebaran.
Para PKL memadati jalan di Dusun Sumber, mulai pinggir jalur Pantura hingga makam Mbah Dudo. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal Dusun Sumber sekaligus penyebar Islam sezaman dengan Sunan Muria.
Malam hari, Dusun Sumber bermandi cahaya dari pasar malam yang menyuguhkan aneka permainan mulai dermolen (bianglala), ombak banyu, kolam pancing, hingga kebun binatang mini.
Hewan bulus dan buah duku menjadi ikon Dusun Sumber. Setiap Tradisi Bulusan, kedua ikon itu muncul menjadi pengingat untuk selalu menjaga lingkungan. Pada gebyar festival budaya Bulusan, kali ini, warga tak ketinggalan mengarak patung bulus berukuran besar dikawal dua pohon duku yang juga berukuran besar.
Kedua ikon itu dikirab bersama gunungan hasil bumi lainnya. Tua-muda, besar dan kecil warga Sumber sengkuyung mengikuti kirab. Mereka berdandang dengan aneka kostum. Sekelompok warga mengenakan kostum ikonik pemuka berbagai agama.
peserta kirab mengenakan pakaian berbagai pemuk agama |
Tradisi Bulusan dilestarikan warga hingga kini. Sejumlah pejabat di Kudus mulai Bupati dan Wakil Bupati Kudus HM Tamzil dan H Hartopo, Sekda Kudus Sam’ani Intakoris, hingga jajaran pejabat Forkompida lainnya hadir di tengah ribuan warga yang memadati Tradisi Bulusan.
Pada tradisi itu, Bupati membuka festival dengan memberi makan Bulus di makam Mbah Dudo. Ketiga Bulus itu diberi makan lepet, penganan dari ketan berbentuk lonjong yang dibungkus janur (daun kelapa yang masih muda).
Duku Sumber menjadi tanaman yang hampir ada di halamam rumah warga. Hingga 1980-an, populasinya masih cukup banyak. Setiap musim panen tiba, warga memetik untung dari pohon yang memiliki batang besar itu.
Buah Duku Sumber terkenal karena memiliki rasa yang manis dengan ukuran yang cukup besar. Buah duku Sumber bahkan menjadi incaran warga hingga luar daerah. Sayang populasi tanaman duku di Sumber jauh menurun, saat ini.
Buah Duku Sumber terkenal karena memiliki rasa yang manis dengan ukuran yang cukup besar. Buah duku Sumber bahkan menjadi incaran warga hingga luar daerah. Sayang populasi tanaman duku di Sumber jauh menurun, saat ini.
Warga membawa maskot patung pohon duku salah satu ikon Dusun Sumber |
Sementara kehadiran Bulus erat kaitannya dengan cerita rakyat yang berkembang di kalangan warga Sumber. Tradisi Bulusan tak lepas dari sosok Mbah Dudo, yang diyakini sebagai seorang alim cikal bakal Dusun Sumber.
Setiap Tradisi Bulusan, selalu digaungkan seruan untuk menjaga sungai dan lingkungan. Dengan menjaga sungai, habitat bulus, diharapkan lingkungan bebas banjir. Ikan dan hewan lainnya pun terjaga. Namun, seruan itu harus lebih giat digaungkan. Tak hanya saat tradisi Bulusan berlangsung.
Ihwal Bulus yang dikematkan di Dusun Sumber, banyak versi cerita yang berkembang di Masyarakat. Namun yang paling populer seperti dikisahkan Sirajudin, juru kunci makam dan punden Mbah Dudo, tradisi itu tak lepas dari cerita turun temurun yang mengaitkan Mbah Dudo dan santrinya, dengan Sunan Muria.
Dikisahkan, Mbah Dudo memiliki dua orang santri Umara dan Umari. Pada Bulan Ramadan keduanya lembur “ndaut” mencabut bibit padi hingga malam hari. Pada malam peringatan Nuzulul Quran, Sunan Muria datang hendak menyebarkan Islam.
Setiap Tradisi Bulusan, selalu digaungkan seruan untuk menjaga sungai dan lingkungan. Dengan menjaga sungai, habitat bulus, diharapkan lingkungan bebas banjir. Ikan dan hewan lainnya pun terjaga. Namun, seruan itu harus lebih giat digaungkan. Tak hanya saat tradisi Bulusan berlangsung.
Ihwal Bulus yang dikematkan di Dusun Sumber, banyak versi cerita yang berkembang di Masyarakat. Namun yang paling populer seperti dikisahkan Sirajudin, juru kunci makam dan punden Mbah Dudo, tradisi itu tak lepas dari cerita turun temurun yang mengaitkan Mbah Dudo dan santrinya, dengan Sunan Muria.
Dikisahkan, Mbah Dudo memiliki dua orang santri Umara dan Umari. Pada Bulan Ramadan keduanya lembur “ndaut” mencabut bibit padi hingga malam hari. Pada malam peringatan Nuzulul Quran, Sunan Muria datang hendak menyebarkan Islam.
Bupati memberi makan Bulus Sendang Makam Mbah Dudo |
Mendengar bunyi “kecipak-kecipik” Umara dan Umari yang mencabuti bibit padi, Sunan Muria pun berujar : “Malam Nuzulul Quran tidak mengaji kok malah berendam di sawah seperti bulus saja,”
Syahdan, keduanya pun berubah menjadi bulus. Melihat kejadian itu, Mbah Dudo pun datang meminta maaf atas kesalahan kedua santrinya. Sayang, semua sudah terjadi. Sunan Muria yang membawa tongkat kayu “adem ati” kemudian menancapkannya ke tanah dan muncul sumber.
Sunan pun berujar, kelak akan banyak warga keturunan yang mendatangi sumber itu untuk menghormati bulus tersebut. Sumber itu lah yang saat ini diyakini sebagai Sumber Bulusan tepat di sebelag punden Mbah Dudo.
Terlepas dari benar tidaknya kisah itu, warga Bulusan terus memegang teguh sampai saat ini. Kisah itu pula yang mendasari terus dilestarikannya tradisi Bulusan. Selain menggelar kirab, tradisi Bulusan tahun ini juga dimeriahkan dengan lomba mancing, lomba rebana, malam tirakatan, hingga pentas musik dan wayang kulit.
Tradisi Bulusan juga menjadi berkah bagi para PKL yang menggelar pasar malam di sepanjang jalan Dusun Sumber.
Pasar malam tradisi Bulusan |
Tradisi Bulusan menjadi magnet wisata Syawalan yang mampu menyedot pengunjung dari Kabupaten Kudus mapun kabupaten tetangga lainnya. Produk-produk lokal warga Hadipolo, terutama Sumber, juga laris diburu pengunjung.
Syawalan bagi warga Dusun Sumber, adalah momentum memetik berkah dari tradisi yang terus dilestarikan, sekaligus menguri-uri budaya warisan leluhur. Bulus dan Duku, diharapkan terus terjaga kelestariannya.
Anak-anak mengusung patung bulus |
Unik juga tradisi Syawalan di Kudus seperti itu, seperti karnaval ya. Nice info
BalasHapustradisi di indonesia memang kudu dijaga sejak dini ya kang, soalnya nanti takut ada yang plagiat hehe
BalasHapus