TRAGEDI kematian paus sperma karena menelan 5,9 kilogram sampah plastik di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, membuka mata kita pentingnya mengelola sampah rumah tangga.
Tak hanya memicu bencana alam seperti banjir karena sampah menyumbat sungai atau saluran air, hingga dampak lingkungan lainnya, sampah juga ternyata mengancam nyawa makhluk hidup lainnya. Greenpeace Indonesia menyebut Indonesia sudah darurat sampah.
Masyarakat menghasilkan sampah organik sekitar 70 persen, sisanya adalah sampah anorganik seperti botol plastik, kantong plastik, hingga styrofoam. Untuk meminimalkan dampak sampah plastik, Gerakan “zero waste” melalui manajemen pengelolaan sampah pun kembali digalakkan.
Jauh sebelum Pemerintah gembar-gembor kampanye gerakan zero waste melalui sejumlah kementerian baru-baru ini, warga di Kampung Bulakan, Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, sudah lebih dulu menerapkan manajemen pengelolaan sampah rumah tangga.
Lewat program kampung iklim (Proklim) warga secara mandiri memilah dan memanfaatkan sampah. Hasilnya, sampah rumah tangga organik diolah menjadi kompos, pupuk cair, hingga energi terbarukan (biogas). Sampah anorganik disulap menjadi kerajinan kreatif yang memiliki nilai ekonomi.
Proklim menjadi ikhtiar warga Bulakan untuk turut serta dalam melakukan upaya penguatan kapasitas adaptasi perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca. Proklim sendiri adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kegiatan pertanian organik yang dirintis sejak 2007 menjadi embrio terbentuknya Kampung Proklim Bulakan Asri. Setelah sekian tahun bergelut di pertanian organik, warga mulai serius memecahkan persoalan sampah, tahun 2013.
Program itu tak serta merta dijalankan seluruh elemen warga. Kehadiran PT Pamapersada Nusantara (Pama), anak perusahaan PT United Tractors Tbk (Astra Group) yang memfasilitasi pendampingan hingga peralatan pengolah sampah melalui Kampung Berseri Astra (KBA) Proklim Cilongok, tahun 2013 pun, tak lantas membuat seluruh warga tergerak.
Mengubah kebiasaan warga memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Program itu mengalami pasang surut. Pada masa awal program digulirkan, hanya sedikit warga yang mau aktif terlibat karena memang yakin betul sampah memiliki nilai ekonomis.
Ketekunan sebagian warga yang aktif di program itu pelan tapi pasti mulai menggugah kesadaran warga yang lain. Program itu mulai mendapat tempat di masyarakat secara luas setelah adanya reformasi kepengurusan proklim, tahun 2017.
Taufiqurrahman yang ditunjuk sebagai koordinator Proklim Bulakan Asri mengajak rekan-rekannya melakukan pemetaan potensi desa, hingga studi banding ke daerah lain yang memiliki program serupa.
Taufiq menuturkan, potensi sampah di kampungnya cukup besar. Keberadaan Pondok Pesantren Nurul Huda yang memiliki sekitar seribu santri salah satunya. “Dari ponpes banyak dihasilkan sampah baik organik mapun anorganik. Begitu juga dari warung-warung di sekitar ponpes, banyak dihasilkan sampah plastik makanan maupun minuman kemasan,” katanya.
Dari diskusi internal, pengurus proklim pun sepakat mengolah sampah tersebut. Mereka membentuk Bank Sampah Kampoeng Iklim Bulakan Asri. Lewat bank sampah, warga bertekad mengubah sampah menjadi berkah, sekaligus melestarikan lingkungan bebas dari sampah.
Berbagai macam sampah rumah tangga dipilah menurut jenisnya. Warga juga guyub menggelar kegiatan Ahad bersih untuk menjaga lingkungan agar Bulukan menjadi kampung yang aman, sejahtera, Ramah, dan Indah (ASRI).
Akronim Asri itu lah yang sengaja disematkan pada nama Proklim Bulakan Asri, agar warga selalu ingat sekaligus menjadi motivasi bersama untuk mewujudkan lingkungan kampung yang diidam-idamkan itu.
Sampah organik seperti sisa sayuran yang terkumpul dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi biogas. Dari biogas tak hanya dihasilkan energi terbarukan, namun juga menghasilkan pupuk cair dan kompos.
Karena kapasitasnya terbatas, hanya sekitar 2 kilogram, gas yang dihasilkan baru bisa dimanfaatkan dua tempat. Satu disalurkan ke Bank Sampah, satu lainnya ke rumah warga yang berada di dekat instalasi.
Sementara sampah anorganik didaur ulang melalui bank sampah. Sampah plastik bekas kemasan makanan atau minuman yang dikumpulkan baik dari program tabungan maupun sedekah sampah, disulap menjadi kerajinan seperti karpet, tas, hingga dompet.
Yang tidak bisa didaur ulang dijual ke pengepul. Lebaran lalu, tabungan warga di Bank Sampah bahkan ada yang mencapai Rp 370 ribu per orang.
Meski sudah melakukan pemilahan dan daur ulang sampah, Taufiq menuturkan masih ada sekitar dua truk sampah yang dikirim ke TPA setiap minggu. Sampah yang terbuang percuma ini lah yang kini sedang dicari bagaimana cara pemanfaatannya.
Ada gagasan mengolah sampah terbuang menjadi paving block. Pengurus Bank Sampah dan Proklim sudah belajar ke Purbalingga. Namun karena produksi paving block menghasilkan asap pekat, Taufiq mengaku masih pikir-pikir menerapkannya di Bulakan.
“Khawatir kalau asap nanti mengganggu warga hingga muncul protes. Jika asap bisa diminimalkan, kami tertarik. Kami masih mencari model yang tepat untuk pemanfaatan sampah terbuang,” katanya.
Semangat dan kreatifitas warga membawa efek domino bagi kegiatan ekonomi warga. Terlebih, Bulakan dianugerahi tanah yang subur. Tanaman kelapa, durian, dan kopi tumbuh subur. Jika kelapa sudah lama dimanfaatkan untuk memproduksi kopra, gula semut, hingga serabutnya dimanfaatkan untuk sapu dan keset, lain halnya nasib kopi di Bulakan.
Kopi yang sebelumnya dianggap tanaman liar, baru digarap serius belakangan ini. Budaya “ngopi” warga perkotaan mendorong Warga Bulakan mengolah kopi secara serius. Hasilnya, mereka kini memiliki produk unggulan Kopi Iklim.
Tak berhenti disitu, warga menata mimpi Bulakan sebagai sentra penghasil bunga. Tanah Bulakan yang subur kerap menjadi incaran pedagang tanaman. Mereka membeli tanah Bulakan sebagai media tanam.
Melihat potensi itu, kampung Proklim Bulakan menggagas unit usaha pemanfaatan tanah sebagai media tanam, sekaligus mengembangkan usaha di bidang tanaman hias. “Semua usaha ekonomi itu kami garap untuk mewujudkan Bulakan sebagai kampung berdikari,” katanya.
Taufiq mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. “Kami bersyukur tak sendirian dalam mewujudkan mimpi Bulakan menjadi kampung berdikari. Selain dukungan pemerintah, juga ada dukungan pihak lain seperti dari Astra yang terus mendampingi dan ikut mengedukasi warga,” katanya.
Tak mudahnya mengubah kebiasaan warga terutama dalam mengelola sampah diamini CSR Section Head PT Pamapersada Nusantara Head Office Pangarsa Budi Utama, yang melakukan pendampingan di Bulakan. Hanya saja, kerja pendampingan di Bulakan relatif lebih ringan karena ada warga yang memiliki visi sama melalui proklim.
Budi mencontohkan, melalui program CSR perusahannya pernah memasang komposter komunal yang mengolah tinja sebagai energi terbarukan (biogas). Komposter komunal yang dibangun secara hitung-hitungan sudah menghasilkan biogas. Namun, warga keberatan memanfaatkannya karena alasan tertentu.
“Mungkin karena mereka melihat bahan bakunya yang berasal dari tinja manusia. Karena mereka tak mau memanfaatkannya untuk memasak, ke depan kami wacanakan untuk penerangan kampung,” katanya.
Program Kampung Berseri Astra (KBA) Cilongok di Dusun Bulukan, Desa Langgongsari, berjalan cukup baik karena peran serta masyarakatnya. Sejak awal, lanjut Budi, program ini memang hanya memfasilitasi kampung yang masyarakatnya aktif.
Akronim Asri itu lah yang sengaja disematkan pada nama Proklim Bulakan Asri, agar warga selalu ingat sekaligus menjadi motivasi bersama untuk mewujudkan lingkungan kampung yang diidam-idamkan itu.
Kampung Bulakan menuju kampung berdikari |
Sampah organik seperti sisa sayuran yang terkumpul dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi biogas. Dari biogas tak hanya dihasilkan energi terbarukan, namun juga menghasilkan pupuk cair dan kompos.
Karena kapasitasnya terbatas, hanya sekitar 2 kilogram, gas yang dihasilkan baru bisa dimanfaatkan dua tempat. Satu disalurkan ke Bank Sampah, satu lainnya ke rumah warga yang berada di dekat instalasi.
Sementara sampah anorganik didaur ulang melalui bank sampah. Sampah plastik bekas kemasan makanan atau minuman yang dikumpulkan baik dari program tabungan maupun sedekah sampah, disulap menjadi kerajinan seperti karpet, tas, hingga dompet.
Yang tidak bisa didaur ulang dijual ke pengepul. Lebaran lalu, tabungan warga di Bank Sampah bahkan ada yang mencapai Rp 370 ribu per orang.
Kerajinan kreatif yang diolah dari sampah plastik |
Meski sudah melakukan pemilahan dan daur ulang sampah, Taufiq menuturkan masih ada sekitar dua truk sampah yang dikirim ke TPA setiap minggu. Sampah yang terbuang percuma ini lah yang kini sedang dicari bagaimana cara pemanfaatannya.
Ada gagasan mengolah sampah terbuang menjadi paving block. Pengurus Bank Sampah dan Proklim sudah belajar ke Purbalingga. Namun karena produksi paving block menghasilkan asap pekat, Taufiq mengaku masih pikir-pikir menerapkannya di Bulakan.
“Khawatir kalau asap nanti mengganggu warga hingga muncul protes. Jika asap bisa diminimalkan, kami tertarik. Kami masih mencari model yang tepat untuk pemanfaatan sampah terbuang,” katanya.
Semangat dan kreatifitas warga membawa efek domino bagi kegiatan ekonomi warga. Terlebih, Bulakan dianugerahi tanah yang subur. Tanaman kelapa, durian, dan kopi tumbuh subur. Jika kelapa sudah lama dimanfaatkan untuk memproduksi kopra, gula semut, hingga serabutnya dimanfaatkan untuk sapu dan keset, lain halnya nasib kopi di Bulakan.
Kopi yang sebelumnya dianggap tanaman liar, baru digarap serius belakangan ini. Budaya “ngopi” warga perkotaan mendorong Warga Bulakan mengolah kopi secara serius. Hasilnya, mereka kini memiliki produk unggulan Kopi Iklim.
Tak berhenti disitu, warga menata mimpi Bulakan sebagai sentra penghasil bunga. Tanah Bulakan yang subur kerap menjadi incaran pedagang tanaman. Mereka membeli tanah Bulakan sebagai media tanam.
Melihat potensi itu, kampung Proklim Bulakan menggagas unit usaha pemanfaatan tanah sebagai media tanam, sekaligus mengembangkan usaha di bidang tanaman hias. “Semua usaha ekonomi itu kami garap untuk mewujudkan Bulakan sebagai kampung berdikari,” katanya.
Taufiq mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. “Kami bersyukur tak sendirian dalam mewujudkan mimpi Bulakan menjadi kampung berdikari. Selain dukungan pemerintah, juga ada dukungan pihak lain seperti dari Astra yang terus mendampingi dan ikut mengedukasi warga,” katanya.
Tak mudahnya mengubah kebiasaan warga terutama dalam mengelola sampah diamini CSR Section Head PT Pamapersada Nusantara Head Office Pangarsa Budi Utama, yang melakukan pendampingan di Bulakan. Hanya saja, kerja pendampingan di Bulakan relatif lebih ringan karena ada warga yang memiliki visi sama melalui proklim.
Pemanfaatan sampah organik untuk biogas |
Budi mencontohkan, melalui program CSR perusahannya pernah memasang komposter komunal yang mengolah tinja sebagai energi terbarukan (biogas). Komposter komunal yang dibangun secara hitung-hitungan sudah menghasilkan biogas. Namun, warga keberatan memanfaatkannya karena alasan tertentu.
“Mungkin karena mereka melihat bahan bakunya yang berasal dari tinja manusia. Karena mereka tak mau memanfaatkannya untuk memasak, ke depan kami wacanakan untuk penerangan kampung,” katanya.
Program Kampung Berseri Astra (KBA) Cilongok di Dusun Bulukan, Desa Langgongsari, berjalan cukup baik karena peran serta masyarakatnya. Sejak awal, lanjut Budi, program ini memang hanya memfasilitasi kampung yang masyarakatnya aktif.
“Kami tidak ingin menyuapi, namun memberi kail. Mereka yang membuat kelompok, melakukan pemetaan, programnya seperti apa, kamii hanya memfasilitasi,” katanya.
Sampah menjadi isu utama di Bulukan. Semangat warga mendaur ulang sampah telah menghasilkan kerajinan kreatif. Saat ini, produk kerajinan warga Bulakan sudah nampang di galeri kami di Bandara Sepinggan Balikpapan, Kalimantan Timur, bersama produk-produk desa binaan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Setelah sampah, potensi air menjadi program yang bakal serius digarap ke depannya. Warga Bulakan telah membuat biopori di pekarangan rumah agar air bisa terserap ke tanah. “Sekarang sedang didiskusikan bagaimana memanfaatkan air agar tidak terbuang percuma,” katanya.
Sampah menjadi isu utama di Bulukan. Semangat warga mendaur ulang sampah telah menghasilkan kerajinan kreatif. Saat ini, produk kerajinan warga Bulakan sudah nampang di galeri kami di Bandara Sepinggan Balikpapan, Kalimantan Timur, bersama produk-produk desa binaan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Setelah sampah, potensi air menjadi program yang bakal serius digarap ke depannya. Warga Bulakan telah membuat biopori di pekarangan rumah agar air bisa terserap ke tanah. “Sekarang sedang didiskusikan bagaimana memanfaatkan air agar tidak terbuang percuma,” katanya.
*)Sumber foto : Fanpage Facebook Proklim Bulakan Asri
Sangat kreatif semoga masyarakatnya menjadi lebih mandiri ya.
BalasHapusWah, keren banget. Saya sudah berusaha mengurangi penggunaan plastik, tapi tetap saja sampahnya banyak. Terutama kalau beli camilan. Yang seperti ini nih, yang perlu digalakkan di masyarakat.
BalasHapus