JARUM jam sudah menujuk angka delapan malam, namun pos kamling di pinggir jalan RT 02 RW IV Desa Ngembalrejo, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus itu justru kian ramai dengan celoteh anak.
Sesekali orang tua mereka datang. Bukannya menyuruh pulang, para orang tua justru datang dengan senyum lebar sembari membawakan baju bekas dan sampah plastik untuk anak-anak mereka.
Yanti (45), salah satu orang tua, datang sembari menggengam pakaian bekas yang dibawanya dari rumah. Baju itu disodorkan anaknya Yohan (5). “Untuk kostum nanti pentas 17-an. Nanti dihiasi dengan aneka sampah plastik agar lebih menarik,” katanya, Sabtu (11/8) malam.
Pos kamling di pinggiran jalan Dusun Kauman Kidul itu bukan pos kamling biasa. Oleh Amalia Zulfiana Rochman (23), pos kamling itu disulap menjadi Kereta Pelangi. Lia, begitu ia akrab disapa menyebut Kereta Pelangi merupakan akronim Kreasi Tangan Peduli Anak Negeri.
“Setiap malam Minggu anak-anak berkumpul, belajar sambil bermain. Kadang mendongeng. Bulan ini kami punya hajatan pentas 17 Agustus mengenakan kostum yang dibuat dari sampah seperti botol atau koran bekas,” kata Lia.
Lia menginisiasi Kereta Pelangi setelah lama berkecimpung di komunitas Kresek (Kreasi Sampah Ekonomi Kota) Kudus. Sejak terbentuk 27 September 2015, Kresek fokus pada kegiatan edukasi daur ulang sampah yang menyasar satuan pendidikan mulai TK hingga perguruan tinggi.
Kresek dibentuk oleh Faesal Adam (25) dan sekelompok relawan yang ingin andil mewujudkan program Indonesia bebas sampah 2020. Selain membuat bank sampah, Kresek aktif membuat pelatihan kreatif pengolahan sampah ke satuan pendidikan mulai TK, SD, SMP, hingga SMA.
Akhir Juli lalu, mereka mengajak anak-anak Sekolah Luar Biasa (SLB) Sunan Muria Dawe, Kudus berkreasi dengan sampah. Kresek yang kini memiliki relawan sebanyak 30 orang mengajak siswa berkebutuhan khusus membuat celengan berbentuk kucing dari botol bekas.
Program kelas kreasi ini menjadi lanjutan dari program serupa di SLB Purwosari Kecamatan Kota. “Setelah enam pertemuan yang kami gelar selama tiga bulan di SLB Purwosari, kami mulai Juli lalu memulai kelas kreasi ke SLB Dawe. Tak hanya murid, para guru pun antusias mengikuti kelas kreasi,” kata Lia.
Selain mendorong anak mencintai lingkungan, kegiatan kelas kreasi itu juga dinilai meningkatkan kepercayaan diri siswa SLB. Pasalnya dengan segala keterbatasannya, mereka mampu berkarya dengan bahan sampah. “Program kelas kreasi di SLB Dawe masih berlanjut. Antusiasme guru dan murid di sana cukup bagus,” katanya.
Antusiasme serupa juga terlihat saat Kresek menggagas wisata berbasis sampah dengan ecobrick, akhir tahun lalu. Ecobrick dibuat dari botol plastik bekas yang diisi sampah-sampah plastik. Setelah sampah dipadatkan didalam botol plastik bekas minuman kemasan, botol ecobrick dirangkai menjadi monumen replika Menara Kudus.
Pembuatan ecobrick melibatkan ribuan pelajar hingga orang dewasa. Mereka menggelar pelatihan ecobrick di sekolah-sekolah hingga arena car free day di Alun-alun Kudus, setiap Minggu. Hasil kreasi ekobrick itu masih bisa dinikmati warga yang berkunjung ke Taman Gondangmanis, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus.
“Melalui ecobrick kami ingin menunjukkan kepada masyarakat jika sampah jika ditangani secara benar, bisa menghasilkan karya yang bisa dinikmati. Di sejumlah tempat ecobrick bahkan bisa disulap menjadi bangunan seperti rumah,” katanya.
Belakangan, kreasi ecobrick dilirik sejumlah sekolah di Kabupaten Jepara. Kresek kerap diundang sekolah di Jepara untuk mengajari cara membuat ecobrick, hingga kerajinan daur ulang sampah.
Menular
Kiprah Kresek mendidik pelajar lewat sampah menular hingga ke Surakarta, setelah Lia (23) berkuliah di UNS. Bersama rekan-rekan kuliahnya, Lia, panggilan akab Amalia Zulfiana Rochman, mendirikan Kresek Solo, 9 April 2016.
Setelah lulus, Lia kembali bergabung dengan rekan-rekannya di Kresek Kudus. Semangat Lia berlipat setelah ia dipersunting Faesal Adam, yang tak lain koordinator Kresek. Berdua mereka menggawangi komunitas Kresek mengedukasi pelajar agar mau mendaur ulang sampah.
Adam mencontohkan, produksi sampah di Kabupaten Kudus mencapai 147 ton per hari. Jika tidak ada upaya pemilahan dan daur ulang, maka sampah hanya akan menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo yang hanya seluas 5,6 hektare.
“Jika ditangani secara benar, sampah tidak hanya menumbuhkan kreatifitas. Sampah juga memiliki nilai ekonomis,” katanya.
Di Kereta Pelangi misalnya, pasangan suami istri itu merintis program sedekah sampah. Orang tua yang anak-anaknya belajar di Kereta Pelangi bisa menyetorkan sampah seperti botol plastik, kardus, koran bekas, hingga peralatan dapur yang sudah tidak terpakai.
Selain disulap menjadi kerajinan, mereka sering menjual langsung barang bekas. “Uang hasil penjualan sampah kami putar untuk kegiatan di Kereta Pelangi. Seperti misalnya untuk pembuatan kostum pementasan perayaan kemerdekaan ini,” katanya.
Pendirian Kereta Pelangi tak lepas dari permintaan para orang tua, setelah melihat relawan Kresek kerap menggelar pelatihan daur ulang sampah di sekolah-sekolah. Melihat keduanya aktif, tetangga Lia meminta agar anak-anak mereka juga dilibatkan dalam proses kreatif tersebut.
Jadilah Kereta Pelangi menumpang pos kamling tak jauh dari rumah keluarga Lia. Adam menuturkan, Kresek masih akan terus berkampanye pengurangan sampah dengan cara pemilahan daur ulang ke sekolah-sekolah.
Menurutnya, posisi sekolah cukup strategis untuk mengajak anak mencintai lingkungan. “Sampah bisa menjadi barang berguna, sekaligus sarana pendidikan. Tentunya menyenangkan jika anak-anak bisa membuat bahan ajar baik di sekolah maupun di rumah,” katanya.
Meski tidak ada sokongan dana dari pemerintah, Adam yakin bisa menghidupi komunitasnya berbekal sampah daur ulang. Selain program bank sampah dan sedekah sampah, Kresek menggalang dana melalui penjualan pin hingga gantungan kunci buatan sendiri.
Konsistensi Kresek berkampanye lingkungan di sekolah diapresiasi Viena, guru SLB Purwosari Kudus. Meski program Kresek di sekolahnya sudah rampung, anak didiknya kini masih mempraktikkan keterampilan daur ulang sampah atau barang bekas.
“Kami terus berkomunikasi dengan komunitas Kresek. Mungkin perlu sesekali mereka kami undang lagi untuk mengenalkan kreasi baru atau ilmu baru apa pun tentang daur ulang barang bekas,” katanya.
*) Tulisan ini tayang di harian Suara Merdeaka, Senin,
13 Agustus 2018
0 komentar:
Posting Komentar