Lewat puisi, penyair buruh asal Kudus Jumari HS tak kesepian di usianya yang menginjak 53 tahun. Karyawan pabrik rokok terbesar di Kudus yang kerap melalang buana dengan puisi ini menyambut usia senjanya dengan menerbitkan antologi puisi “Panorama Senja”.
Panorama Senja merupakan kumpulan atau antologi puisi-puisinya yang mewarnai rubrik sastra media massa di Indonesia. Puisi itu dirangkai dalam sebuah antologi setebal 242 halaman ini.
Ada campur tanga penyair kondang asal Solo Sosiawan Leak dalam Panorama Senja. Antologi Panorama senja akan diluncurkan saat Jumari genap berusia 53 tahun, nanti pada 24 November. Mengapa Jumari tak ingin segera meluncurkan antologi puisi meski bukunya sudah terbit?
Dia punya alasan tersendiri.
Jumari kini tengah sibuk menuntaskan satu lagi antologi puisi-puisinya. Rencananya, buku antologi yang masih dirahasiakan judulnya itu akan diluncurkan bersamaan dengan Panorama Senja. Dua antologi puisi yang layak ditunggu.
Terkait campur tangan Leak, Penyair asal Solo itu tak hanya menjadi editor di Panorama Senja. Leak juga menjadi kurator puisi-puisi Jumari yang semuanya pernah terbit di media massa tersebut. Leak membagi 222 puisi Jumari ke dalam delapan bagian mulai Silhuet Jiwa, Notasi Hati, Relung Renung, Lirik Cinta, Tembang Cinta Sukma Cinta, Bisik Senja, dan Zikir Rindu.
Meski banyak mengumbar kata cinta, jangan harap mendapat cinta-cintaan ala puisi cinta. Di usia senjanya, Jumari mengupas cinta yang universal.
Tengok puisi Sajak Cinta yang secara khusus ditulisnya untuk sang istri tercinta (halaman 121)
Ia menulis
//Kupanggil gerimis di musim kemarau/Ia datang membawa kenang-kenangan tentang masa lalu/Saat kita menyatukan rindu dalam ombak/dan deburnya membuncahkan/Butiran cahaya di rulang rusukku//
//Kupanggil sunyi di puncak malam/ia hadir menyerupai beningnya air yang mengarus lirih ke telaga/Di mana kita pernah saling memandang di depan Tuhan/Dan bersama-sama mengucapkan Cinta//
//Aku tak akan melupakanmu/Aku sudah merasa cukup, kau wanita bagiku/Ijinkan aku menjadi tongkat di usia senjamu//
Panorama Senja banyak bercerita mengenai perjalanan hidup dan spiritual Jumari. Distorsi kematian dan kehidupan, surga, dan neraka, menjadi bumbu dalam setiap puisinya. Puisi “Isyarat Gigi” yang paling dekat dengan Jumari, sedekat ia dengan kematian yang nyaris merenggutnya.
//Di lidahku terasa ada Tuhan/Menghitung gigiku yang tinggal dua batang/Kematian itu menyapa rahasia, kata usia tiba-tiba/Wajahnya berkerut membayangkan ada yang hilang/Di belukar perjalanan//
Puisi yang ditulisnya Mei 2015 itu, lahir dari pengalaman Jumari melawan penyakit gigi yang hampir merenggut nyawanya.
Jumari HS dan Panorama Senja |
Sosiawan Leak dalam pengantarnya menilai Jumari cenderung tidak peduli setelah puisi ia tulis, ia publikasikan, dan ia dokumentasikan ala kadarnya. Jumari juga cenderung bersikap kurang seimbang. Apakah puisi yang ditulisnya member manfaat secara khusus dan serius kepada pembacanya atau tidak.
Itu lah mengapa puisi-puisi yang ditulis Jumari lebih terkesan hal yang pribadi. Itu lah yang menjadi penyebab mengapa ia kerap mengangkat tema-tema yang dianggap remeh dan sederhana yang biasa dijumpai sehari-hari. Bukan tema besar atau berat, apalagi rumit yang membuat dahi berkerut.
Diksi dan pola ujarannya pun berasal dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Ia comot diksi polos itu, lantas dikocoknya dalam proses yang seolah sekenanya. Namun berdasarkan kepekaan dan rasa puitika yang unik khas Jumari.
Jik apun ada tema besar dengan perspektif yang seolah pelik, ujung-ujungnya tetaplah mendarat landai dan tenang dalam puisi-puisi Jumari. Hal itu justru menjadi kelebihan Jumari dalam puisinya.
0 komentar:
Posting Komentar